Pada saat itu hingga era Orde Lama
peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah
disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde
Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan
tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer
di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa
ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini
sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde
Lama).
Tawaran
bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah
Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut,
namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan
militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan
situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata
Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap,
tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah
cenderung berpihak kepada AS.
Latar
belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader
mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam
Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga
terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang
diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam
kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam
Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan
beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto
(Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi
III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI),
Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno,
Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11
Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di
pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan
pasukan bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr.
Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai
terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai.
Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun
dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil
Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi
dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan mayatnya
dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik
dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang
melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang
namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun
Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi
Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta
telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis
Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang
mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu
negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan
juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu
domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh
dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah
diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat
Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri,
Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak
Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran
(pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam
pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan
Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red
Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell,
Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI.
Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal
Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency -
CIA
Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo,
pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya
Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian
membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front
Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia bahwa FND
dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat
Pada 19 September 1948, Presiden
Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat
Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir Syarifuddin atau Soekarno-Hatta. Maka
pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs
(Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru terutama di buku-buku pelajaran
sejarah kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI Madiun.
Akhir
konflik
Kekuatan pasukan pendukung Musso
digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan
Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II
(Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi
Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah
pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur,
tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa
Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan
kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso
dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung
Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun
dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan
pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun
pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan
melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948
seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap.
Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan
Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot
Subroto.
Sumber
·
Wiki Indonesia
·
McMahon, Robert J., Colonialism and Cold
War: The United States and the Struggle for Indonesian Independence. London:
Cornell University Press, 1981, dalam History of U.S. Diplomatic Relations in
Indonesia
·
Rosihan Anwar, Agen CIA yang saya kenal.
Peristiwa Madiun 1948, Kompas Online, Kamis, 18 September 1997
·
T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran,
Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, Penerbit Sinar
Harapan, Jakarta 1960, hlm. 82
·
Wawancara Radio Nederland dengan Ibrahim
Isa
·
Kesaksian Sumarsono (1), (2).