Aspek-Aspek yang mempengaruhi Perkembangan Individu Anak II
a.    Perkembangan Perilaku Sosial
Sejak individu dilahirkan ke muka bumi ini ia telah mulai belajar tentang keadaan lingkungan sosialnya. Pada awalnya, ia mempelajari segala yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Ia mencoba meniru, mengidentifikasi dan mengamati segala sesuatu yang ditampilkan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Selanjutnya ia mempelajari keadaan-keadaan di luar rumah, baik yang menyangkut nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Akhirnya, ia menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari masyrakat dan dituntut untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Proses tersebut biasa disebut sosialisasi. Kagan (1972) mengartikan sosialisasi sebagai: “…the process by which the child is integrated into the society throgh exposure to the actions and opnions of older members of the society”. Sementara itu Gilmore (1974) mengemukakan bahwa “…socialization is the process whereby an individual is prepared or trainned to participate in his environment”.  
Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosialisasi pada intinya merupakan upaya mempersiapkan individu untuk dapat berperilaku sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Krech et. al. (1962) mengemukan bahwa  untuk memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat dari ciri-ciri respons interpersonalnya, yang dibagi ke dalam tiga kategori :
1.    Kecenderungan peranan (role disposition);  ciri-ciri respons interpersonal yang merujuk kepada tugas dan kewajiban dari posisi tertentu.
2.    Kecenderungan sosiometrik (sociometric disposition); ciri-ciri respons  interpersonal yang bertalian dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain.
3.    Kecenderungan ekspresif  (expressive disposition); ciri-ciri respons  interpersonal yang bertautan dengan ekspresi diri, dengan menampilkan kebiasaan-kebiasaan khasnya (particular fashion).
Sementara itu, Buhler (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan tahapan dan ciri-ciri perkembangan perilaku sosial individu sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tahap
Ciri-Ciri
Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3 )
Subyektif
Segala sesuatu dilihat berdasarkan pandangan sendiri
Kritis I ( 3 - 4 )
Trozt Alter
Pembantah, keras kepala
Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif
Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan
Anak Sekolah ( 6 – 12 )
Masa Obyektif
Membandingkan dengan aturan – aturan
Kritis II ( 12 – 13 )
Masa Pre Puber
Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji
Remaja Awal ( 13 – 16 )
Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif
Mulai menyadari adanya kenyataan yang berbeda dengan sudut pandangnya
Remaja Akhir  ( 16 – 18 )
Masa Obyektif
Berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan dirinya
b.    Perkembangan Moralitas
Ketika individu mulai menyadari bahwa ia merupakan bagian dari lingkungan sosial dimana ia berada, bersamaan  itu pula individu mulai menyadari bahwa dalam lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan, norma-norma/nilai-nilai sebagai dasar atau patokan dalam berperilaku.  Keputusan untuk melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan norma yang berlaku dan nilai yang dianutnya itu disebut moralitas.
Dalam hal ini, Kohlberg mengemukakan tahapan perkembangan moralitas individu, sebagaimana tampak dalam tabel berikut :
 
Tingkat
Tahap
Pre Conventional (0 – 9)
1.     Orientasi  terhadap kepatuhan dan hukuman
2.     Relativistik hedonism

Conventional (9 – 15)

3.     Orientasi mengenai anak yang baik
4.     Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas

Post Conventional ( > 15 )

5.     Orientasi  terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial
6.     Prinsip etis universal
c.    Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Dengan melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya, pada saat-saat tertentu, individu akan meyakini dan menerima tanpa keraguan  bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi  apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu disebut pengalaman keagamaan (religious experience) (Zakiah Darajat, 1970). Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual  tertentu,  baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk  nyata kehidupan sehari-hari.
Abin Syamsuddin (2003) menjelaskan tahapan perkembangan keagamaan sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini :

Tahapan
Ciri-Ciri
Masa
Kanak-Kanak
Sikap reseptif meskipun banyak bertanya
Pandangan ke-Tuhan-an yang dipersonifikasi
Penghayatan secara rohaniah yang belum mendalam
Hal ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya)
Masa Sekolah
Sikap reseptif yang disertai pengertian
Pandangan ke-Tuhan-an yang diterangkan secara rasional
Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral
Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat realita orang – orang beragama yang hypocrit (pura-pura)
Pandangan ke-Tuhan-an menjadi kacau, karena beragamnya aliran paham yang saling bertentangan
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik, sehingga banyak yang enggan melaksanakan ritual yang selama ini dilakukan dengan penuh kepatuhan
Sikap kembali ke arah positif, bersamaan dengan kedewasaan intelektual bahkan akan agama menjadi pegangan hidupnya
Pandangan ke-Tuhan-an dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya
Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui  proses identifikasi dan merindu puja, ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran manusia

             d.   Perkembangan Perilaku Konatif
Perilaku konatif merupakan perilaku yang berhubungan dengan motivasi atau faktor penggerak perilaku seseorang yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhannya. Freud (Di Vesta & Thompson dalam Abin Syamsuddin,2003) mengemukakan tentang  tahapan-tahapan perkembangan perilaku yang berhubungan obyek pemuasan psychosexual, sebagaimana  tampak dalam tabel berikut ini :
Daerah Sensitif
Cara Pemuasan
Sasaran Pemuasan
A. MASA BAYI DAN KANAK-KANAK (INFANCY PERIOD)
Pre Genital Period
Infantile Sexuality

Oral Stage

Mulut dan benda
Early Oral
Menghisap ibu jari
Mulut sendiri, memilih dan memasukkan  benda kemulut
Memilih benda dan digigitnya secara sadis
Late Oral
Menggigit, merusak dengan mulut
Anal Stage

Dubur dan benda
Early Anal

Memeriksa dan memainkan duburnya
Memilih benda dan menyentuhnya/memasukkan ke dubur
Late Anal
Memainkan dan memperhatikan duburnya

Early Genital       Period (phalic stage)
Menyentuh, memegang, melihat, menunjukkan alat kelaminnya
Ditujukan kepada orang tuanya (oediphus atau electra phantaties)
B. MASA ANAK SEKOLAH (LATENCY PERIOD)
No New Zone
(tidak ada daerah sensitif baru)
Represi
Reaksi formasi
Sublimasi dan kecen- derungan kasih sayang
Berkembangnya perasaan–perasaan sosial
C. MASA REMAJA (ADOLESENCE PERIOD)
Late Genital Period


Hidup kembali daerah sensitif waktu masa kanak-kanak
Mengurangi cara-cara waktu masa kanak-kanak
Menyenangi diri sendiri (narcisism) atau objeck oediphus-nya
Objek pemuasannya mungkin diri sendiri/sejenis (homosexual) atau lain jenis  (heterosexual)
Akhirnya,  siap berfungsinya alat kelamin
Munculnya cara orang dewasa memperoleh pemuasan
e.    Perkembangan Emosional
Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu : (1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); (2)  perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu; dan  (3) pola sambutan. Yang mungkin dirubah  dan dipengaruhi adalah variabel yang kesatu (stimus) dan yang ketiga (respons), sedangkan variabel yang kedua merupakan yang tidak mungkin dirubah karena terjadinya pada individu secara mekanis. Terdapat dua dimensi emosional yang sangat penting untuk dipahami yaitu :  (1) senang – tidak senang (suka-tidak suka); dan  (2) intensitasnya (kuat-lemah). Bridges (Loree, 1970) menjelaskan proses perkembangan dan diferensiasi emosional pada anak-anak, sebagai berikut :
Usia
Ciri-Ciri
Pada saat dilahirkan
Bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap rangsangan – rangsangan tertentu (bunyi, cahaya, temperatur)
0 - 3 bln
Kesenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan dari emosi orang tuanya
3 – 6 bln
Ketidaksenangan berdiferensiasi  ke dalam kemarahan, kebencian dan ketakutan
9 – 12 bln
Kegembiraan berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
18 bulan pertama
Kecemburuan mulai berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
2 th
Kenikmatan dan keasyikan berdiferensiasi dari kesenangan
5 th
Ketidaksenangan berdiferensiasi di dalam rasa malu, cemas dan kecewa sedangkan  kesenangn berdiferensiasi ke dalam harapan dam kasih sayang
loading...