Pada waktu dahulu Karangpari (Ciamis-jawabarat) adalah daerah yang subur. Kesuburan daerah Karangpari dianggap masyarakat Karangpari dikarenakan pernah dilalui dan disinggahi Lutung Kasarung. Tempat yang dilalui dan disinggahi Lutung Kasarung itu didekatnya ada pohon sejenis mangga gedong yang rasanya masam. Konon buah tersebut adalah kesenangan monyet. Menurut cerita Lutung Kasarung adalah seorang ksatria yang menjelma menjadi monyet. Di tempat yang disinggahi Lutung Kasarung ada darah yang menetes sehingga tempat tersebut dijadikan keramat atau tabet.

Waktu terus berlalu, tahun demi tahun Karangpari tetap subur. Ada kepercayaan dari masyarakat Karangpari bahwa kesuburan Karangpari karena ada keramat atau tabet tersebut. Maka sebagai ucapan terima kasih setiap tahun pada bulan Rabiul Awal (Bulan Mulud) dipersembahkan sesaji di tempat keramat itu dan dipersembahkan ibing ronggeng di balai desa Karangpari.
Dalam sesaji / sasajen tersebut berisi nasi congcot (nasi putih yang dibentuk seperti kerucut), ketupat salamet (yang dibuat dari janur / daun kelapa muda), ketupat tangtang angin (yang dibuat dari daun bambu), kopi pahit, kopi manis, bubur merah dan bubur putih, rokok serutu, dan seupaheun komplit dengan daun sirih.
Sesaji tersebut diletakan di tabet dekat pohon Mangga. Biasanya pada malam harinya dipersembahkan Ibing Ronggeng. Mengapa dipersembahkan ibing ronggeng? Karena lutung kasarung dianggap erat kaitannya dengan tujuh puteri di kerajaan kagaluhan, yang akhirnya menjadi suami dari Purbasari. Ada anggapan kesenangannya ngibing ronggeng. Karena para leluhur Karangpari mengenangi ronggeng maka sebagai ucapan terima kasihnya dipersebahkan Ibing Ronggeng setahun sekali dengan tujuan ngaruwat Desa Karangpari agar tetap subur makmur, aman dan tentram.
Ada kepercayaan kalau tidak membuat sesaji dan ngaruwat dengan ibing ronggeng maka hasil tatanen masyarakat Karangpari akan menurun. Tetapi tahun demi tahun kepercayaan akan memberi peersembahan sesaji mulai menurun. Yang akhirnya sampai saat ini masyarakat Karangpari tidak lagi membuat sesaji. Hal ini disebabkan karena para sesepuh Karangpari seorang demi seorang meninggal dunia. Tetapi kebiasaan itu tidak sekaligus hilang, mula-mula dari pemberian sesaji berubah jadi hanya menuangkan air putih yang sudah dibacakan do’a oleh sesepuh di tabet tersebut. Dan sekarang kebiasaan itu sudah tidak dilaksanakan lagi karena selain sesepuhnya sudah tidak ada dikarenakan masyarakat sekarang ini sudah lebih memahami ajaran Agama Islam yang melarang membuat sesaji karena hukumnya haram menurut Islam.
Tetapi mengadakan persembahan Ibing Ronggeng masih berjalan. Mungkin selain melestarikan adat budaya dari para leluhur juga masih banyak masyarakat Karangpari yang menyenangi Ibing Ronggeng. Dari sebagian masyarakat Karangpari masih ada anggapan kalau tidak ada acara ruwatan maka hasil panen akan menurun atau tanaman padinya terkena hama. Pada saat pemimpin Desa Karangpari berbeda keyakinan, pada waktu itu tidak mengadakan ruwatan / pesta ibing ronggeng ada sebagian masyarakat menghubungkan hal tersebut dengan hasil penen yang menurun. Padahal mungkin tanahnya sudah berkurang kesuburannya akibat ditanami padi setahun 3 kali. Pada saat ganti kepala desa dan diadakan lagi ruwatandengan pesta ibing ronggeng yang biasa diadakan di Balai Desa Karangpari dan kebetulan saat itu hasil panen masyarakat meningkat, akhirnya kepercayaan masyarakat muncul kembali. Masyarakat Karangpari menganggap bahwa perlu mengadakan ruwatan dengan mempersembahkan Ibing Ronggeng sebagai ucapan terima kasih kepada leluhur dengan harapan hasil pertanian tetap baik dan meningkat.
Pemahaman ini oleh para ahli agama sedikit demi sedikit diluruskan bahwa kesenian Ronggeng yang diadakan di balai Desa Karangpari adalh adat budaya untuk menghilangkan rasa lelah setelah bekerja. Dengan berbagai arahan dalam pelaksanaan Ibing Ronggeng jaman sekarang berbeda dengan kesenian Ibing Ronggeng jaman dahulu. Ronggeng jaman sekarang lebih memperhatikan norma-norma agama dan aturan-aturan dari pemerintah.
Sampai sekarang pohon sejenis mangga tersebut masih ada dan pohonnya sudah tua. Pohon tersebut mempunyai tinggi + 25 meter dan dengan diameter 150 cm. Masih suka berbuah, tetapi buahnya tidak pernah dipetik, kalau ada yang jatuh baru boleh memungutnya.
Sampai sekarang tempat singgah Lutung Kasarung itu masih dianggap keramat. Penduduk tidak boleh seenaknya lewat atau berada di bawah pohon tersebut tengah hari atau berisik di tempat tersebut. Kalau berisik dan lewat dengan kurang sopan, maka ada anggapan bakal terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan masih dianggap keramatnya tempat tersebut tidak ada yang berani menebang pohon tersebut meskipun sudah tua dan besar.
Kepercayaan masyarakat Desa Karangpari dalam mempersembahkan sesaji sudah tidak dilaksanakan lagi, dikarenakan sudah bertambahnya pemahaman tentang ajaran agama Islam.
Pelaksanaan Adat Budaya dengan mempersembahkan Ibing Ronggeng masih dilaksanakan, dengan masih perlu diluruskan pemahamannya, bukan persembahan tetapi adat budaya sebagai hiburan penghilang lelah sambil mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT.
Bagi pembaca yang beragama Islam mohon meluruskan pemahaman hal-hal adat budaya di daerah agar tidak menyimpang dari aqidah. Tetapi adat budaya daerah harus dilestarikan agar generasi penerus mengetahui adat budaya para leluhurnya.
loading...